Pembully-an Ternyata Bisa Terjadi di Kantor


INI GAK ADIL!, teriak Evelyn dalam hati saat ia memasang sprei di kasur barunya.

Ia menempati sebuah mess karyawan yang berisikan dua kamar, dimana satu kamar ditempati oleh dua karyawati, maka dalam satu mess itu ada empat orang karyawati. Jika karyawati lainnya senang mendapatkan fasilitas yang serba baru, tidak bagi Evelyn. Fasilitas baru kelihatannya cuma sebagai kegembiraan semu yang entah sebanding atau tidak dengan tekanan stress pekerjaan.

Sebentar lagi jam 4 sore. Evelyn mau tidak mau harus selesai dengan lamunan ketidak-adilannya, yang memikirkan kenapa ia harus bekerja malam sampai jam 12 malam sedangkan karyawan lainnya hanya sampai jam 10. Ya gajiku lebih besar. Kemudian Evelyn bergegas menuju kantor yang hanya berjarak 20 langkah dari mess sambil mengenakan earphone.

Puluhan karyawan yang sebentar lagi menikmati selesai jam kerja, memandang Evelyn dengan tatapan -Oh, dia Admin shift malam. -Cuma dia.

Abaikan saja, Eve, abaikan! Dasar orang-orang payah..

Evelyn melanjutkan pekerjaan Varra.

Yang terbaik dari pekerjaan ini, Evelyn mendapatkan meja yang berhadapan dengan jendela. Dari jendela itu ia bisa melihat matahari terbenam. Saat itulah ia menyadari bahwa kantor sudah kosong. Ia sudah terbiasa dengan kesendirian itu, meski terkadang, ia tergoda curi-curi membuka sosial media untuk mengobati rasa sepi. Tapi, untuk apa? Sosmed begitu-begitu saja. Lagipula pada jam-jam sore dimana orang lain pulang kerja lalu membuka handphone, adalah jam-jam sibuk bagi Evelyn.

Saat adzan Magrib Evelyn diberi waktu 1 jam untuk istirahat, namun ia hanya boleh beranjak dari tempatnya jika Varra datang untuk menggantikan. Selesai shalat Evelyn makan malam sendirian di meja yang besar, karena semua karyawan sudah selesai makan bersama. Selesai makan malam biasanya Evelyn beristirahat di mess, namun saat ia baru saja sampai di pintu ia melihat teman-teman satu mess sedang bersiap-siap untuk bekerja kembali.

"Raina, tidak bisakah kamu disini dulu sebentar? Aku bosan sendirian terus," kata Evelyn pada teman sekamarnya.
"Oh, maaf Eve! Boss bisa marah kalau aku tidak segera ke komputerku," Raina pergi meninggalkan mess.
Evelyn memandangi Raina dengan padangan Oh-Ya-Sudahlah. Saat ia hendak memasuki kamar, ia melihat Dyena keluar dari kamar yang lain.

"Dyena, kau disini?" tanya Evelyn.
"Aku bertukar kamar dengan Liona. Keliatannya Varra lebih suka sekamar denganku," jawab Dyena penuh percaya diri.
Sebodo amat dengan si Ratu Sensi ini, Evelyn menimpali dalam hati. Ia pernah mendengar curhatan tengah malam dari Raina yang kumat insomnia pada malam-malam pertama menempati mess baru, berhati-hatilah dengan penghuni mess sebelah yang dikenal dengan perilaku sentimen-nya. Evelyn tidak pandai bergaul karena keadaan membuat dia jarang berinteraksi dengan yang lain, maka ia menganggap satu mess dengan orang yang gampang tersinggung seperti Dyena adalah bencana.
"Tunggu. Bukankah kau biasanya shalat di kamar Varra?" tanya Dyena yang tiba-tiba peduli. Hampir saja Evelyn merasa ada yang  mau jadi temannya. "Memangnya kenapa, Dy?"

"Tadi malam pintu kamarnya kukunci dari dalam. Lalu dimana kamu saat shubuh?"

Sialan. Jauh-jauhlah dari hidupku, kau keparat Dyena. 
Bagi orang yang jarang berinteraksi seperti Evelyn, pertanyaan interogasi adalah pengganggu.

Evelyn menarik nafas, "Dengar, Dyena. Aku punya mukena-ku sendiri, aku tidak menaruhnya di lantai kamarku bersama sajadah seperti kebiasaan Varra karena aku malas melipatnya berulang-ulang kalau hanya dipakai sesekali. Varra tidak keberatan jika miliknya kupakai. Mengingatkan ibadah memang niat yang baik, tapi sebaiknya jaga-jaga kata-katamu. Berprasangka buruk tidak nyaman bagiku. terlebih lagi jika kau takut punyamu dipinjam olehku, oh itu tidak akan terjadi."

Evelyn membuka pintu kamarnya, sebelum masuk ia berbalik pada Dyena, "Kenapa bisa ada kau yang tiba-tiba mengunci kamar itu? Asal kau tau saja, Varra dan Liona tidak pernah menguncinya."

Evelyn menutup pintu kamar dari dalam. Sebodo amat dengan si Ratu Sensi, ia mengulang.

Satu jam pun berlalu. Evelyn kembali bekerja. Dan pada jam 22.00 sampai 24.00 ia mendapati dirinya sendirian di kantor yang besar. Namun kali ini berbeda, ia mendapatkan pesan instan dari seseorang yang ada di daftar kontaknya, ia yakin hanya karyawan disini lah yang memakai aplikasi tersebut.

Rolfe : "Sendirian?"
Eve: "Seperti biasa."
Rolfe : "Ckck. Kasihan."
Eve : "Tertawalah."
Rolfe : "Aku akan seselai beberapa menit lagi. Kau yang pegang kunci."
Eve: "Oh. Oke."

Rolfe Si Karyawan Teladan sungguh beruntung. Ia mendapatkan ruangan khusus. Evelyn selalu berharap bisa seperti dia, dikelilingi banyak teman, dibanggakan Boss, dan yang paling menggiurkan: punya kehidupan normal. Bekerja di siang hari dan tidur di malam hari. Tidak seperti kehidupan abnormal Evelyn yang kerja di shift malam, direndahkan Boss karena bangun siang, terkucil dari teman-teman satu mess karena tidak punya waktu ngobrol. Tapi Evelyn masih saja tidak mendapat jawaban kenapa Rolfe -dengan kehidupan normalnya- sudi untuk bekeja sampai malam seperti Evelyn, apakah ini semacam penyakit gila kerja atau pria itu dijadikan Karyawan Teladan berkat porsi lemburnya yang gila-gilaan.

Evelyn adalah orang terakhir yang memastikan semua jendela terkunci sebelum meninggalkan kantor. Saat ia pulang ke mess pada jam 12 malam, ia tahu semua penghuni mess sudah tidur. Aku sendirian.

Hari berikutnya, Evelyn masuk kerja seperti biasa pada jam 4 sore. Boss yang kebetulan berpapasan dengannya di kantor berkata, "Kudengar kau selalu bangun siang, Eve. Aku bisa saja memecat pekerja yang lalai dalam beribadah."

"Ya, Pak. Aku tidak akan melewatkannya," kata Evelyn seperlunya. Dalam hati ia merasa ada yang tidak beres. Apakah seseorang mengadukan Evelyn pada Boss?

Evelyn mencoba bangun pagi setiap hari agar ia bisa mengobrol dengan teman-temannya saat sarapan bersama. Ia memulai percakapan dengan duduk di dekat Liona.
"Liona, sejak kapan kau bertukar kamar dengan Dyena? Apa kau bertengkar dengan Varra?" tanya Evelyn menghangatkan suasana, tapi sepertinya dia tidak mendapat feedback positif karena gosip sudah menyebar.
Alih-alih menjawab Evelyn, Liona cuma berkata sinis, "Coba kau ingat-ingat, kapan kau melewatkan ibadah semenjak tinggal di mess. Boss tidak suka orang seperti itu."

Lalu Evelyn melihat semua orang pergi meninggalkannya. Evelyn hanya bisa mengeluh di sosmed, "Ini tidak adil! Kenapa aku diperlakukan berbeda dengan yang lain?"

Dan waktu pun berlalu sampai Evelyn mengambil libur di hari Sabtu. Evelyn sama sekali tidak bisa menikmati hari liburnya, karena ia terus kepikiran dengan situasi di kantor. Ia mulai membenci pekerjaannya. Dan saat ia kembali ke mess, ia dipecat oleh atasan akibat menulis keluhan di sosial media, dimana keluhan tersebut dicurigai ada kaitannya dengan pekerjaan.

"Sosial media adalah konsumsi umum. Aku tidak bisa membiarkan pekerja menulis sesuatu di tempat umum yang memberi kesan kurang baik tentang kantorku di mata publik. Aku bukan atasanmu lagi."

Itulah ucapan terakhir dari bosnya sebelum Evelyn membereskan barang-barangnya. Pembully-an ini sungguh konyol, sama konyolnya dengan perjodohanku dengan Rolfe! Kenapa Rolfe bisa 'menolak' sedangkan aku tidak bisa. Segitu sampahnya kah aku.

***

POINT-POINT DARI CERITA DI ATAS

Cerita ini diangkat dari kisah nyata, jadi saya bisa menjamin kebenarannya. Tapi saya gak akan memberitahukan kapan dan dimana cerita ini berkisah dengan alasan privasi. Maka, bagaimana pun kamu menilai itu bersifat objektif dan belum tentu sepenuhnya tepat. Yang saya ingin sampaikan disini adalah tentang kasus bullying yang ternyata juga bisa terjadi di tempat kerja.

Bullying adalah perilaku menyakiti atau mengganggu kesehatan seseorang baik fisik atau mental dan dilakukan terus menurus. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya sedang menjadi korban bullying di tempat kerja karena peilaku bullying dilakukan oleh orang yang sudah pada dewasa maka sudah pasti ya acara bullying tersebut dilakukan dengan sengaja dan perhitungan yang matang.

Seperti Evelyn misalnya. Dia bekerja di tempat yang ketat. Orang yang selalu sendirian seperti Evelyn sangat mudah untuk disalahkan dengan kritikan pedas yang terkesan mengada-ngada. Wanita menghabiskan lebih dari 10.000 kata per hari, maka wanita yang selalu berkumpul identik dengan penggosip. Para penggosip inilah biasanya yang menyebarkan kebohongan untuk menghancurkan reputasi rekan kerjanya, atau bisa juga dilakukan oleh orang yang merasa dirinya cukup populer sehinga menjadi pelaku bully untuk mempertahankan kepopulerannya. Orang yang di-bully akan membenci pekerjaan sekalipun bayarannya tinggi. Sangat disayangkan kalau ternyata dia kompeten.

Jika 160.000 anak membolos sekolah akibat bullying, lalu berapa karyawan yang mengundurkan diri akibat bullying di tempat kerja? Sudah pasti banyak mengingat bullying terjadi karena hukum sebab-akibat. Orang-orang yang merasa dirinya superrior selalu membutuhkan orang lemah untuk dijadikan objek bully.

Jika kamu merasa jadi korban atau jika kamu melihat aksi bullying di tempat kerjamu, sebaiknya segera utarakan dengan orang yang bisa dipercaya seperti manajemen misalnya. Kalau sekolah kan punya Bimbingan Konseling ya. Sudah sepantasnya ada orang yang bertindak karena ini juga berpengaruh pada perkembangan suatu perusahaan.

Terakhir nih, jadilah percaya diri. Siapa pun tidak pantas di-bully. Tidak ada salahnya mencari alternatif pekerjaan lain. Sangat sulit mencari kebahagiaan dalam diri sendiri, tapi tidak mungkin ditemukan di tempat lain. Dan sebaik-baiknya pekerjaan adalah pekerjaan yang membuat kita tentram dalam menjalankannya.

Posting Komentar

0 Komentar